Langit kelam dalam
guyuran hujan yang lebat. Kilat menjilat sambung-menyambung seperti ingin
membakar langit kelabu. Halilintar bersahut-sahutan tiada henti bagai ingin
membelah bumi yang diinjak manusia dan makhluk Tuhan lainnya. Angin bertiup
liar kian kemari seperti ingin membawa semua yang ada di tanah. Terlintas dalam
benak laki-laki itu bagaimana jadinya jika ia disambar petir. Tubuhnya terbakar
hangus seketika. Gosong. Atau tiba-tiba air bah datang dan menghanyutkan
tubuhnya seperti sepotong kayu. Rasa sesal dan kesal menyeruak dalam dadanya.
Betapa bodoh dan tololnya.
“ Dalam badai petir
seperti ini, mungkin aku sudah berada di tempat tidur bersama tumpukan surat
lamaran kerja.” Gumam Herlambang.
Sarjana lulusan dua tahun lalu ini masih saja
kesal dengan suratan Tuhannya. Ya, penyesalan memang datang di belakang tapi
mengapa usahanya selama ini pun tak kunjung membuahkan hasil. Belum lagi
desakan agar segera menikah dari seorang ibu yang sudah renta. Bagaimana bisa,
ia akan memberi makan perempuan beserta anaknya nanti sementara untuk menghisap
satu batang rokok saja ia terpaksa hutang di warung sebelah. Memaksa menutup
mata dan telinga menyingkirkan rasa malu. Sarjana pengangguran momok yang
sangat memalukan. Tapi ia sudah kebal terhadap olok-olokan itu walau sebetulnya
sakit didadanya. Merasa tersindir ditambah lagi diusianya yang ke-29 tahun ia
masih bujang pengangguran. Apa masih ada perempuan yang rela menikah denganku?
Kecuali perempuan tolol dan sangat dungu. Ia pun tak mau mempunyai istri
seperti itu.
“Gini-gini aku juga
pengen milih bu”
“Apa yang kamu pilih,
yang kamu pilih belum tentu mau sama kamu”
“Setidaknya aku punya
keinginan istri idaman”
“Iya kalau dia mau”
“Ya pasti mau bu”
“Mana buktinya?” Jawab
ibunya dengan kesal.
“Bu…”
“Aku itu cuma pengen
kamu kawin lihat cucuku sebelum gusti Allah manggil. Kerja apa saja boleh yang
penting menghasilkan. Ditelateni”
Sedikit kesal dengan
anaknya, wanita tua itu meninggalkannya sendiri duduk di teras rumah mengepulkan
asap rokoknya. Yang ia harapkan bekerja yang layak lalu dapat menikah, menikah
butuh kesiapan mental dan uang agar anak beserta istrinya tidak dalam
kekurangan. Usaha demi usaha telah ia lakukan. Pekerjaan demi pekerjaan telah
ia jalani. Beberapa bulan bekerja lalu mengundurkan diri. Begitu seterusnya.
Dia berfikir tak pantaslah seorang sarjana bekerja menjadi kuli, penjaga toko
atau menjadi satpam di suatu kantor. Tetapi itulah nyata yang pernah ia jalani.
Dia mencicipi kerasnya hidup. Yang ia harap bekerja di dalam kantor. Duduk di
kursi empuk dan mengerjakan lembaran kertas sembari mengecek laporan-laporan.
Sangat kasihan jika ia hanya menjadi satpam saja. Nyatanya itu masih harapan
kosong. Berharap ibunya mengerti apa kata hati.
\\\
Lulusan STM yang
mengantarkanya bertahan di dunia mesin. Hati yang berkecamuk serasa tak sesuai
dengan pekerjaan yang ia jalani kini. Lima bulan keinginannya keluar dari
pekerjaan itu sangat kuat harus ia tahan bahkan semenjak baru dua hari ia
bekerja di bengkel itu. Sangat memalukan, Tetapi jika dipikir lagi kehidupan
ini tak semudah yang dipikirkan manusia. Semua ini Allah yang berkehendak
manusia hanya membuat rencana, mengonsep setiap detik apa yang akan mereka
lakukan dan selalu semua atas kehendak-Nya.
Siapa yang ingin
mempunyai nasib seperti dia. Tidak seorang pun mau menjadi seperti itu lalu
bagaimana jika usaha-usaha yang dilakukan jauh dari yang diharapkan. Sangat
jauh sekali. Sempat terbesit pikiran bagaimana dengan sahabat-sahabatku dahulu
ketika masa kuliahnya jarang kuliah, jarang mengerjakan tugas dan yang
kerjaanya berteriak-teriak dijalanan demi menuntut keadilan. Apa yang salah dengan diri ini.
“Pak bisa tambal ban? ban
saya bocor..”
“Di sini bukan tambal
ban mbak, kalau mau ada 300 meter ke utara dari sini. Mbak lurus saja” jawabkuWanita
berjilbab dan serba hijau itu lalu menghela nafas panjangnya seperti aku
kasihan. Tetapi buat apa aku kasihan. Tak seorang pun kasihan padaku. Termasuk
juga ibunya yang selalu membayang-bayangi untuk menyuruh segera menikah.
“Ya sudah pak, matur
suwun”
“Andai saya tidak repot
. Saya akan bantu mbak nuntun sepeda motor mbak.”
“Iya pak tidak apa-apa”
Perempuan cantik
berbusana anggun dalam kesederhanaan. Nampaknya perempuan itu pandai. Kesan
pertama. Selang beberapa detik hatinya berubah. Dia menawarkan untuk mengantar
perempuan itu. Menuntun motornya sementara perempuan itu menaiki sepeda kayuh. Meninggalkan
pekerjaannya sejenak. Kasihan jika perempuan secantik itu dibiarkan memapah
motor. Alangkah pecundangnya laki-laki yang hanya bisa melotot melihat dia
disepanjang jalan.
Perempuan itu mencari
alamat. Dia tak pernah ke daerah itu sebelumnya. Sebelum ia menceritakan lebih
jauh. Lambang meninggalkan wanita itu lalu mengayuh sepedahnya.
“Sampai disini saja ya
mbak, kerjaan saya tadi menunggu”
Dengan perlahan
mengayuh sepeda tua itu dia meninggalkan perempuan itu yang menunggui sepeda motornya yang akan segera
diperbaiki tukang tambal ban.
\\\
Musim panen ini tak
seberuntung musim lalu. Helaian tangkai demi tangkai yang ditancapkan ke bumi
tak seberuntung musim panen lalu. Seperti tak mau berbiji lagi. Sebagai manusia
tak bisa apa-apa. Lagi-lagi manusia hanya bisa berusaha dan berusaha tetapi
Allah yang berkehendak. Sabar ibu. Dia sisihkan gajinya yang tak seberapa. Biar
begitu sawah yang tak seberapa itu yang membesarkan dia, yang membayar tiap
tagihan-tagihan perkuliahan. Yang mengais setiap semester kepada sawah dan
keringat ayahanda. Sayangnya ayahnya telah menghadap panggilan Sang Kreator Agung.
“Sawah yang ada di desa
Morodadi sepertinya lebih baik dijual. Bagaimana menurutmu ?”
“Lebih baik jangan bu.
Pakai dahulu gaji yang tak seberapa ini.”
Ibu itu tahu niat
anaknya. Tetapi lantas tak bisa ia menerima begitu saja. Dia akan lebih malu
ketika mendengar dari mulut tetangga Sarjana Bujang pengangguran itu hutang
lagi di warung. Lebih menyakitkan. Amat menyakitkan bagi seorang ibu.
“Selagi ibu bisa
sendiri. Ibu tak ingin menyusahkan anak-anakku. Seperti saudara-saudaramu. Mana
pernah ibumu minta pada mereka. ”
Ibu yang wajahnya sudah
tak kencang lagi itu memang selalu saja membuat anaknya terenyuh. Serasa ingin
menuruti tetapi menikah bukan hal yang mudah. Menikah bukan bisa saja dengan
siapa-siapa. Ibu pun ingin yang terbaik. Tetapi benar juga. Jika mencari
terbaik itu mustahil karena aku pun bukan lelaki terbaik. Sarjana yang bekerja
di bengkel dengan gaji apa adanya. Gumam laki-laki itu dalam hatinya.
\\\
Hati yang berkecamuk. Sawah
itu tak boleh dijual. Sawah peninggalan almarhum bapak. Melamun di jalan. Terlalu
banyak persoalan. Ia mengalami kecelakaan, sepeda yang ia kayuh tertabrak mobil
kencang, setelah menabraknya lalu kabur meninggalkan tubuh yang bersimbah
darah.
Ia sadarkan diri. Disamping
ia lihat sesosok perempuan berjilbab kuning kemerahan. Perempuan yang amat
cantik. Hampir saja bibirnya mengatakan “apa aku telah disurga?” Ibu membawa
tumpukan baju yang telah dicuci. Bertanya-tanya siapa gerangan wanita yang ia
lihat sepintas itu.
“Kamu istirahat saja
nak, kamu kecelakaan. Entah truk mana yang telah tega meninggalkanmu di jalan. Untung ada Sofia yang membawamu menggunakan
mobilnya”
Menghela nafas panjang.
Yah, hanya itu. Dia memikirkan biaya rumah sakit, biaya nebus obat kalau bukan hasil menjual sawah dari mana lagi. Rasa kecewa
pada diri sendiri menghampirinya lagi.
“Duh gusti….., cobaan
apa lagi yang Engkau beri.”
Perempuan itu kembali
lagi. Sepertinya Lambang mengenal perempuan itu. Yah perempuan yang ia tolong
waktu itu. Perempuan itu ingin berbalas budi atas pertolongan kecil tempo hari.
Ia membayar semua biaya pengobatan beserta penginapan. Ibunya bercerita benyak
tentang perempuan itu. Pun juga mengagumi perempuan itu.
Lambang memandangi
wajah ayunya. Dan ia tersentak tiba-tiba datang seorang anak perempuan yang
memanggil wanita itu dengan sebutan “Umi”. Dia sudah berkeluarga. Pupus sudah
harapan Lambang. Yah sepertinya kalau dia menjadi jodohku itu hanya dalam
sinetron saja.
“Pak,masih ingat dengan
saya?”
“Iya, Alhamdulillah
masih”
“Saya yang waktu itu,
ban saya bocor dan bapak yang menolong saya. Masih ingat kan? Saya mencari
alamat dan ternyata betul alamat yang saya cari adalah rumah bapak. Abah saya
memberi amanah kepada saya untuk mencari njenengan. Abah saya punya pondok namanya
At-Taqwa. Mungkin bapak yang lebih mengerti untuk apa saya diamanahi itu”
Perempuan itu
menyodorkan surat kepada Lambang. Perempuan itu adalah putri dari Kyai yang
memiliki pondok dimana Lambang pernah tinggal untuk menimba ilmu.
Bertahun-tahun ngabdi di pondok, mengajar sntri disana. Itulah salah satu sebab
Lambang telat melanjutkan kuliah. Kembali lagi, mengenai mengapa anaknya yang
diamanahi, Lambang pun masih belum mengerti. Setidaknya Beliau menyuruh
santrinya pun bisa.
Kemudian Lambang
membaca isi surat tersebut. Seolah terperangah dengan isi surat itu, Lambang
dengan raut bingung dan wajah yang bahagia berbinar-binar tak menyangka, kalau
Sang Kyai menjodohkan perempuan cantik anak kyainya itu untuk jadi istrinya.
Seraya dalam kebingungan itu Lambang mengucapkan syukur atas apa yang telah
diterimanya.
Segera Lambang
menjelaskan isi surat tersebut pada semua yang ada di ruangan saat itu. Dan
semua Alhamdulillah menerima apa yang telah diamanahkan dalam surat tersebut.
\\\
Tak lama kemudian keduanya melangsungkan akad
nikah dan kehidupan mereka sebagai suami istri pun berjalan dengan baik dan
bahagia.
Kebaikan akan berbuah
kebaikan. Padi menguning dan akan segera dipanen.Perempuan janda muda itu pun
akan segera dipinang. Laki-laki itu menemukan pekerjaan yang layak baginya dan
juga jodoh yang baik untuknya. Tidak harus menjual sawah. Biarlah sawah dan
seisi tanaman didalamnya menguning merunduk mengikuti waktu yang telah
ditentukan Tuhan. Bersabar, bertahun-tahun lamanya dan padi pun segera
menguning. Dipanen.
Karya : Eny Martya / 085606500049